Media Sosial : Jari-Jarimu & Penjara
Artikel Hukum Oleh : Taufiq Ramadhan, S.H., M.H.
Media sosial merupakan media informasi dan komunikasi yang menjadi media popular dan diminati oleh masyarakat. Menurut data yang disampaikan oleh Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kemenkominfo), bahwa pengguna internet di Indonesia mencapai 63 juta orang pada tahun 2013. Dari angka tersebut, 95 persennya menggunakan internet untuk mengakses jejaring sosial.
Dikutip dari situs resmi Kominfo.go.id dalam kategori berita kementerian pada tanggal 7 November 2013, Direktur Pelayanan Informasi Internasional Ditjen Informasi dan Komunikasi Publik (IKP), Selamatta Sembiring mengatakan, situs jejaring sosial yang paling banyak diakses adalah Facebook dan Twitter. Indonesia menempati peringkat 4 pengguna Facebook terbesar setelah USA, Brazil, dan India.
Perkembangan penggunaan media sosial begitu pesat dalam jangka waktu 5-6 tahun setelahnya. Berdasarkan hasil riset Wearesosial Hootsuite yang dirilis Januari 2019 pengguna media sosial di Indonesia mencapai 150 juta atau sebesar 56% dari total populasi. (Dikutip dari https://databoks.katadata.co.id/).
Pada masa globalisasi saat ini, media sosial memiliki manfaat positif sebagai penghubung antara orang yang satu dengan yang lainnya dengan membagikan informasi secara singkat dalam waktu yang cepat tanpa mengeluarkan biaya yang besar. Namun dibalik itu, jika media sosial tidak digunakan dengan cara yang bijak maka akan menimbulkan masalah kepada akun pengguna yang berakibat pada JERAT PIDANA. Beberapa dampak negative yang sering ditimbulkan dari penggunaan media sosial yang tidak baik yaitu seperti penipuan, pornografi, pelecehan, penghinaan dan pencemaran nama baik.
Pengaturan hukum tentang tindak pidana penghinaan dan/atau pencemaran nama baik.
Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2016 Tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 Tentang Informasi dan Transaksi Elektronik merupakan suatu aturan dan dapat juga dikatakan sebagai pakem etika bagi pengguna media sosial untuk menggunakannya dengan cara yang baik dan sesuai dengan kebebasannya yang dijamin oleh konstitusi.
Salah satu tindak pidana yang menarik untuk dibahas adalah tentang penghinaan dan pencemaran nama baik melalui media sosial yang diatur didalam Pasal 27 (3) Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2016 Tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 Tentang Informasi dan Transaksi Elektronik yakni setiap orang dengan sengaja, dan tanpa hak mendistribusikan dan/atau mentransmisikan dan/atau membuat dapat diaksesnya informasi elektronik dan/atau dokumen elektronik yang memiliki muatan penghinaan dan/atau pencemaran nama baik.
Perbuatan pada pasal 27 ayat (3) diancam dengan pidana sebagaimana yang disebutkan didalam pasal 45 ayat (3) Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2016 Tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 Tentang Informasi dan Transaksi Elektronik yakni : Setiap Orang yang dengan sengaja dan tanpa hak mendistribusikan dan/atau mentransmisikan dan/atau membuat dapat diaksesnya informasi elektronik dan/atau dokumen elektronik yang memiliki muatan penghinaan dan/atau pencemaran nama baik sebagaimana dimaksud dalam pasal 27 ayat (3) dipidana dengan pidana penjara paling lama 4 (empat) tahun dan/atau denda paling banyak Rp750.000.000, 00 (tujuh ratus lima puluh juta rupiah).
Baca juga:
Tony Rosyid: Kekacauan Negara di Era Jokowi
|
Terdapat 2 unsur didalam pasal 27 ayat (3) Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2016 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 Tentang Informasi dan Transaksi Elektronik yaitu unsur obyektif dan unsur subyektif.
Unsur-unsur obyektif di dalam pasal tersebut adalah:
Unsur
a. Perbuatan yang dilakukan yaitu mendistribusikan, mentransmisikan, membuat dapat diaksesnya.
b. Melawan hukum, yaitu yang dimaksud dengan “tanpa hak”.
c. Objeknya adalah informasi elektronik dan/atau dokumen elektronik yang memuat penghinaan dan/atau pencemaran nama baik.
Unsur subyektifnya adalah berupa kesalahan, yaitu yang dimaksud dengan “dengan sengaja”.
Pencemaran nama baik merupakan perbuatan yang sering dijumpai dalam kehidupan bermedia sosial berupa memburukkan nama baik orang, menyinggung perasaan orang (memaki dan menistakan atau merendahkan harkat dan martabat orang lain). Penggunaan bahasa dan tulisan tidak baik yang menyinggung suatu pihak atau seseorang yang sifatnya menghina dan merugikan orang tersebut maka dirinya dapat mengadukan perbuatan tersebut kepada pihak berwajib.
Tindak pidana pencemaran nama baik, mengacu pada ketentuan KUHP tentang penghinaan atau pencemaran nama baik yang diatur pasal 310 dan pasal 311 KUHP yang merupakan suatu delik aduan. Maka agar tindak pidana tersebut dapat ditindak dan/atau diproses perlu adanya aduan/laporan dari yang mengalami kerugian.
Terhadap penggunaan pasal 27 ayat (3) Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2016 Tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 Tentang Informasi dan Transaksi Elektronik maka timbul pertanyaan, apakah memberikan kritik dan saran melalui media sosial yang berisikan tentang kekecawaan terhadap buruknya pelayanan publik merupakan suatu penghinaan yang dikategorikan kedalam pasal tersebut. Jika ya, maka tidak salah beberapa pendapat menyatakan bahwa pasal 27 ayat (3) adalah “Pasal Karet” atau pasal yang tidak memiliki tolak ukur yang jelas dan dapat membungkam, mengikat, menjerat para pengkritik yang terkadang jelas mengutarakan hak-haknya.
Kesimpulan dan Contoh Kasus
Pro dan kontra penggunaan pasal 27 ayat (3) Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2016 Tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 Tentang Informasi dan Transaksi Elektronik yang disebut sebagai “Pasal Karet”, mau ataupun tidak mau, suka ataupun tidak suka menjadikan para pemilik akun media sosial untuk bijak dan berhati-hati menggunakan jari-jarinya untuk mendistribusikan, mentransmisikan dan mengakses sosial media agar tidak terjerat dengan masalah yang berakhir Penjara karena sudah banyak contoh kasus yang telah beredar dan diproses sampai dengan pengadilan seperti : kasus yang sempat ramai diperbincangkan, di antaranya kasus Prita Mulyasari yang mempublikasikan keluhannya terhadap Rumah Sakit Omni Internasional yang salah didiagnosis sebagai demam berdarah dengue dan Ahmad Dhani yang membuat vlog bermuatan ucapan 'idiot' pada tahun 2018 dan beberapa kasus lainnya yang dapat dijadikan pembelajaran.